Langit begitu mendung
ketika bel pulang sekolah berdering. Sebentar lagi pasti hujan, pikirku.
Kegelisahanku membuncah menyadari bahwa catatanku belum selesai. Selepas berdoa
dan mengucap salam pada guru, teman-teman bergegas pulang meski sebagian ada
yang masih di dalam kelas, sepertiku. Gerimis mulai merintik, memaksaku
mempercepat gerak jari-jariku menyalin tulisan di papan tulis, lalu bergegas
memberesi buku setelah selesai. Namun langit lebih dulu menumpahkan tangisnya
bahkan sebelum aku sempat keluar kelas.
“Za, ngga
pulang?” Tanya Ratri. Aku menggeleng, “Ngga bawa payung, Rat”.
“Aku pulang
dulu, ya, Za,” pamit Ratri. Sepulangnya Ratri, maka jadilah aku sebatangkara
berteman hujan sekarang. Aku beranjak dari bangkuku dan duduk di bangku panjang
depan kelas. Semerbak petrichor menguar mendominasi penciuman. Tampias hujan
dan air yang mengalir dari paralon menimbulkan gemerisik yang khas.
Bagiku,
hujan membawa cerita layaknya pelangi. Terkadang ia membuatku mendengus kesal
karena menggagalkan kegiatan-kegiatan yang telah kususun sejak jauh hari. Seringkali
ia membuatku gelisah lantaran rinainya meresonansikan kenangan yang berusaha kusamarkan.
Aku merapatkan tubuhku, dingin mulai menyergap. Setengah
jam berlalu, namun tak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Di tengah
kefrustasianku meratapi rinai yang tak kunjung berhenti, di kejauhan terlihat
siluet seseorang yang tergesa ke arahku. Aku terus memperhatikannya, dan pada
jarak sekitar sepuluh meter dariku, siluet itu mulai mewujud.
“Ega?”
lirihku. Laki-laki bertubuh jangkung berpayung merah itu mempercepat jalannya
sambil sesekali membetulkan posisi payungnya. Ia tidak mempedulikan ujung
celananya basah.
Di ujung
koridor, Ega melipat payungnya lalu berjalan ke arahku. “Nih,” sebuah payung
yang masih kering dan terlipat rapi terulur padaku. Aku hanya mengerjap. “Akan
lama jika kamu menunggu hujan reda. Langit sedang tidak baik hari ini, jadi
lebih baik kamu pakai payung ini dan lekaslah pulang.”
Aku meraih payung itu. Lalu, menyamai langkahnya hingga ke
ujung koridor. Kami merentangkan payung masing-masing dan berjalan beriringan
diantara rinai yang menderas.
“Terimakasih, Ga,” ucapku. Dia mengangguk disusul senyuman
yang selalu membuatku turut menyunggingkan senyum. Ah, Ega. Lelaki hujan yang
selalu hadir kala langit mulai menumpahkan tangisnya di pertengahan putih
abu-abuku. Ia tak peduli meski dingin menyergapnya. Dia terus saja menerabas
hujan meski ujung celananya basah. Dia rela mengorbankan kehangatan yang
ditawarkan selimut. Kala hujan turun, dia selalu menghampiriku dengan
payungnya. Hujan, terimakasih karena telah membawa satu cerita yang menghangatkan perasaan; lelaki hujan.
Semarang, 28 Februari 2016