Sabtu, 27 Februari 2016

Lelaki Hujan

        Langit begitu mendung ketika bel pulang sekolah berdering. Sebentar lagi pasti hujan, pikirku. Kegelisahanku membuncah menyadari bahwa catatanku belum selesai. Selepas berdoa dan mengucap salam pada guru, teman-teman bergegas pulang meski sebagian ada yang masih di dalam kelas, sepertiku. Gerimis mulai merintik, memaksaku mempercepat gerak jari-jariku menyalin tulisan di papan tulis, lalu bergegas memberesi buku setelah selesai. Namun langit lebih dulu menumpahkan tangisnya bahkan sebelum aku sempat keluar kelas.

“Za, ngga pulang?” Tanya Ratri. Aku menggeleng, “Ngga bawa payung, Rat”.

“Aku pulang dulu, ya, Za,” pamit Ratri. Sepulangnya Ratri, maka jadilah aku sebatangkara berteman hujan sekarang. Aku beranjak dari bangkuku dan duduk di bangku panjang depan kelas. Semerbak petrichor menguar mendominasi penciuman. Tampias hujan dan air yang mengalir dari paralon menimbulkan gemerisik yang khas.

Bagiku, hujan membawa cerita layaknya pelangi. Terkadang ia membuatku mendengus kesal karena menggagalkan kegiatan-kegiatan yang telah kususun sejak jauh hari. Seringkali ia membuatku gelisah lantaran rinainya meresonansikan kenangan yang berusaha kusamarkan.

          Aku merapatkan tubuhku, dingin mulai menyergap. Setengah jam berlalu, namun tak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Di tengah kefrustasianku meratapi rinai yang tak kunjung berhenti, di kejauhan terlihat siluet seseorang yang tergesa ke arahku. Aku terus memperhatikannya, dan pada jarak sekitar sepuluh meter dariku, siluet itu mulai mewujud.

“Ega?” lirihku. Laki-laki bertubuh jangkung berpayung merah itu mempercepat jalannya sambil sesekali membetulkan posisi payungnya. Ia tidak mempedulikan ujung celananya basah.

Di ujung koridor, Ega melipat payungnya lalu berjalan ke arahku. “Nih,” sebuah payung yang masih kering dan terlipat rapi terulur padaku. Aku hanya mengerjap. “Akan lama jika kamu menunggu hujan reda. Langit sedang tidak baik hari ini, jadi lebih baik kamu pakai payung ini dan lekaslah pulang.”

          Aku meraih payung itu. Lalu, menyamai langkahnya hingga ke ujung koridor. Kami merentangkan payung masing-masing dan berjalan beriringan diantara rinai yang menderas.

          “Terimakasih, Ga,” ucapku. Dia mengangguk disusul senyuman yang selalu membuatku turut menyunggingkan senyum. Ah, Ega. Lelaki hujan yang selalu hadir kala langit mulai menumpahkan tangisnya di pertengahan putih abu-abuku. Ia tak peduli meski dingin menyergapnya. Dia terus saja menerabas hujan meski ujung celananya basah. Dia rela mengorbankan kehangatan yang ditawarkan selimut. Kala hujan turun, dia selalu menghampiriku dengan payungnya. Hujan, terimakasih karena telah membawa satu cerita yang menghangatkan perasaan; lelaki hujan.

Semarang, 28 Februari 2016