Arina Azmy
Kamis, 17 Agustus 2017
Sabtu, 27 Februari 2016
Lelaki Hujan
Langit begitu mendung
ketika bel pulang sekolah berdering. Sebentar lagi pasti hujan, pikirku.
Kegelisahanku membuncah menyadari bahwa catatanku belum selesai. Selepas berdoa
dan mengucap salam pada guru, teman-teman bergegas pulang meski sebagian ada
yang masih di dalam kelas, sepertiku. Gerimis mulai merintik, memaksaku
mempercepat gerak jari-jariku menyalin tulisan di papan tulis, lalu bergegas
memberesi buku setelah selesai. Namun langit lebih dulu menumpahkan tangisnya
bahkan sebelum aku sempat keluar kelas.
“Za, ngga
pulang?” Tanya Ratri. Aku menggeleng, “Ngga bawa payung, Rat”.
“Aku pulang
dulu, ya, Za,” pamit Ratri. Sepulangnya Ratri, maka jadilah aku sebatangkara
berteman hujan sekarang. Aku beranjak dari bangkuku dan duduk di bangku panjang
depan kelas. Semerbak petrichor menguar mendominasi penciuman. Tampias hujan
dan air yang mengalir dari paralon menimbulkan gemerisik yang khas.
Bagiku,
hujan membawa cerita layaknya pelangi. Terkadang ia membuatku mendengus kesal
karena menggagalkan kegiatan-kegiatan yang telah kususun sejak jauh hari. Seringkali
ia membuatku gelisah lantaran rinainya meresonansikan kenangan yang berusaha kusamarkan.
Aku merapatkan tubuhku, dingin mulai menyergap. Setengah
jam berlalu, namun tak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Di tengah
kefrustasianku meratapi rinai yang tak kunjung berhenti, di kejauhan terlihat
siluet seseorang yang tergesa ke arahku. Aku terus memperhatikannya, dan pada
jarak sekitar sepuluh meter dariku, siluet itu mulai mewujud.
“Ega?”
lirihku. Laki-laki bertubuh jangkung berpayung merah itu mempercepat jalannya
sambil sesekali membetulkan posisi payungnya. Ia tidak mempedulikan ujung
celananya basah.
Di ujung
koridor, Ega melipat payungnya lalu berjalan ke arahku. “Nih,” sebuah payung
yang masih kering dan terlipat rapi terulur padaku. Aku hanya mengerjap. “Akan
lama jika kamu menunggu hujan reda. Langit sedang tidak baik hari ini, jadi
lebih baik kamu pakai payung ini dan lekaslah pulang.”
Aku meraih payung itu. Lalu, menyamai langkahnya hingga ke
ujung koridor. Kami merentangkan payung masing-masing dan berjalan beriringan
diantara rinai yang menderas.
“Terimakasih, Ga,” ucapku. Dia mengangguk disusul senyuman
yang selalu membuatku turut menyunggingkan senyum. Ah, Ega. Lelaki hujan yang
selalu hadir kala langit mulai menumpahkan tangisnya di pertengahan putih
abu-abuku. Ia tak peduli meski dingin menyergapnya. Dia terus saja menerabas
hujan meski ujung celananya basah. Dia rela mengorbankan kehangatan yang
ditawarkan selimut. Kala hujan turun, dia selalu menghampiriku dengan
payungnya. Hujan, terimakasih karena telah membawa satu cerita yang menghangatkan perasaan; lelaki hujan.
Semarang, 28 Februari 2016
Kamis, 28 Januari 2016
Pertanyaan Lembar Terakhir
Aku jemput setengah jam lagi ya, Za-
Karen
Setelah membalas pesan Karen, aku kembali mematut diri di
depan cermin. Kurapikan lagi rambut yang tergerai sepunggung, kuoleskan lipstik
merah muda tipis-tipis. Terdengar deru mobil yang berhenti di depan rumah.
Kemudian disusul ucapan salam seorang perempuan. Pasti Karen.
“Cantik banget, Za!” serunya heboh saat aku menghampirinya
di teras.
“Apa
kalimat itu bentuk lain dari ‘siapa dulu yang milihin baju?aku gitu loh’?”
Ledekku. Karen— sahabat yang aku temui semenjak duduk di bangku SMA, sahabat
yang suka banget ngerusuhin penampilanku— yang memadu padankan pakaian yang aku
kenakan sekarang. Kemarin, ia rela mengorbankan tidur siangnya demi memilihkan
baju untukku. Aku, hanya bisa pasrah. Ini tak terjadi kali ini saja. Hampir
setiap hari ia yang ribet soal penampilanku. Tapi aku akui, pilihannya selalu
mengesankan. Karen memang ahli soal fashion.
Celana jeans putih tiga perempat, baju biru muda berbahan twistcone lengan
panjang dengan scallop collar di bagian leher memang sangat pas untukku.
“Engga kok,
beneran cantik. Suer deh! Pasti Awan bakal klepek klepek,” jawab Karen
memandangku puas.
“Padahal
enakan pakai jeans panjang sama kaos loh,” sungutku pura-pura. Setelah ini, pasti
ia akan mengucapkan quotes
andalannya.
“Wanita itu
harus peduli pada penampilan.” Benar kan! Aku terkekeh mendengarnya.
“Udah ah ayo
buruan! Nanti kemaleman loh,” ajakku lalu menariknya menuju mobil.
***
Disinilah
aku dan Karen sekarang. Di halaman belakang sebuah rumah mewah yang telah
disulap menjadi tempat pesta sederhana. Sederhana, namun begitu memukau.
Meja-meja ditata dengan rapi, bunga dan lampu-lampu dipasang dengan apik di
sudut-sudut halaman. Acara malam keakraban kelas yang digabung dengan acara pergantian
tahun ini terselenggara atas ketersediaan Awan— Sang Ketua kelas— menjadi tuan
rumah.
“Hai Faza,
Karen!” Sapa seseorang menyentak aku dan Karen yang tengah memandang
sekeliling.
“Hai Awan!”
jawab kami serempak. Seperti biasa, Awan menebarkan senyumnya yang menawan.
Kaos polo abu-abu dengan jeans hitam panjang nampak sangat cocok dengan
kulitnya yang putih. Jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya
membuatnya nampak lebih keren. Stylish,
seperti Karen. Mereka memang serasi.
“Eh aku gabung
sama yang lain dulu ya,” ucap Karen kemudian berlalu menghampiri Aisyah yang
tengah duduk sambil berbincang dengan Vita.
“Karen!”
sergahku. Kebiasaan, pergi seenaknya. Selalu saja jika ada Awan. Aku mengerti
bahwa ia berusaha membuat semuanya menjadi lebih mudah, namun apakah harus
dengan menghindar?
“Kamu
cantik banget, Za,” puji Awan. Tak ketinggalan senyumnya yang merekah begitu
mempesona. Senyum yang sanggup melumpuhkan
setiap perempuan yang menatapnya, bahkan walau sedetik saja.
“Te-terimakasih,”
jawabku salah tingkah. Selalu seperti ini ketika berada di dekatnya. Entahlah,
hanya berdiri bersisian saja, tiba-tiba gugup menyergapku, dan pujiannya sukses
membuat perasaanku menghangat.
“Duduk
disana, yuk?” ajaknya lalu menggandeng tanganku dan membawaku menuju kursi di
belakang Karen. Karen nampak begitu menikmati obrolannya dengan Vita dan
Aisyah, namun aku tahu perasaannya berada di belakang, pada sosok yang sekarang
tengah duduk di sisiku.
Aku tidak
mengerti bagaimana kami terjebak cinta segitiga seperti ini. Aku tidak mengerti
bagaimana seorang perempuan mampu mengorbankan perasaannya atas nama
persahabatan. Dan aku pun tidak mengerti mengapa hal ini menjadi begitu rumit.
Sejak aku
tak sengaja membaca buku harian Karen dimana keseluruhan isinya adalah tentang
Awan, aku selalu ingin kembali ke titik awal. Titik dimana aku memandang Awan
sebagai teman sekelas dan lelaki populer
di sekolah. Hanya sebatas itu. Tidak sampai akhirnya ia mengirimkan pesan dan
aku membalasnya. Tidak sampai ia mengajakku berbincang dan aku menanggapinya
antusias. Pun harusnya tidak sampai perasaan yang tidak seharusnya itu bersemi.
Namun, berandai saja tidak akan cukup untuk melepaskan kami dari kerumitan ini
‘kan? Kembali ke titik awal pun, tak akan menjamin bahwa segitiga ini akan
kembali menjadi satu garis lurus, ‘kan?
“Tes ...
satu dua tiga tes tes,” seru Gio dari sudut depan. Dengan mic di tangannya, sudah dipastikan acara akan segera dimulai.
Seluruh anak, termasuk aku dan Awan memperhatikan Gio.
“Selamat
malam kawan-kawan! Senang sekali rasanya dapat berkumpul dengan kalian,” Gio
membuka acara dengan sumringah.
“Terimakasih
pada Awan yang telah bersedia menjadi tuan rumah. Tanpamu, acara kita hanya
wacana bro. Thanks ya.” Awan hanya
tersenyum menanggapi ucapan Gio.
“Nah!
Langsung kita mulai saja, ya! Sebelum tahunnya berganti, sebelum kembang api
sebelah meledak, kita mulai dulu acara kita. Nanti, setiap orang akan mendapat
kembang api. Lalu kalian sambung menyambung menyalurkan apinya, hingga kembang
api semua orang menyala.” Jelas Gio panjang lebar. Kembang api mulai dibagikan.
“Sudah
dapat semuanya?” tanya Gio dari depan sana.
“Sudaaaaaahhh,”
jawab anak-anak bersamaan. Beberapa detik kemudian, lampu padam, menyisakan
gelap. Bulan yang tak bersinar malam ini menambah pekatnya suasana.
Crrrsssshh!!!!
Tiba-tiba
terdengar suara berisik yang disusul cahaya berpendar. Samar terlihat Gio
dengan sebatang kembang api yang menyala di tangannya. Indah.
“Terimakasih
untuk tahun 2015 yang mengesankan, kawan-kawan. Semoga tahun depan dan
tahun-tahun setelahnya, kelas D tetap kompak, tetap mengesankan, dan semoga
kita sehidup sesurga, ya. Salurkan apinya, salurkan semangatnya!” seru Gio
semangat lalu mempertemukan ujung kembang apinya pada kembang api seseorang
yang berada di depannya. Riuh tepuk tangan menyertai saluran api Gio. Alunan
piano mulai mengiringi sambung menyambung api. Cahaya mulai berpendar di
berbagai sudut, gemerisik percikan api mulai menambah pesona.
“Salurkan
padaku, Karen!” sentak Awan pada Karen yang masih melamun dengan kembang api
yang telah menyala di tangannya.
“eh i-iya
nih,” Karen mengulurkan tangannya menuju Awan.
“Senyum
dong, Ren! Kan kamu harus menyalurkan semangatmu ke aku,” ucap Awan membuat
Karen gugup. Karen nampak menatap lekat Awan sebelum akhirnya ia menyunggingkan
senyum. Andai Awan tahu apa yang sebenarnya Karen coba salurkan. Bukan hanya
sekadar semangat, tapi juga cinta.
“Faza,
kembang apimu sini!” Aku mengulurkan kembang apiku pada Awan. Ujung kembang api
kami bertemu, apinya merambat perlahan, menimbulkan percikan api bercahaya
dengan suara yang sedikit berisik.
“Berhubung
ini tahun baru, kamu boleh tanya apa saja padaku, Za. Dan akan aku jawab
jujur.” Awan menarik kembang apinya, lalu menyunggingkan senyum padaku. Manis.
“Eh?” Aku
tidak tahu harus menanyakan apa. Untuk apa pula Awan memberikanku kesempatan
semacam itu.
Apakah aku
harus bertanya kapan ia mulai menyukaiku?
Atau,
bagaimana perasaannya pada Karen?
Pertanyaan
apa yang seharusnya aku ajukan?
Api telah
merayap lebih jauh, kembang apiku mulai terkikis. “Eemm ... pertanyaanku ... “
“Kau ingin
aku menanyakan apa padamu?” lanjutku.
Awan tak
langsung menjawab pertanyaanku. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling
halaman. Aku mengikutinya. Melihat cahaya-cahaya yang masih berpendar.
Mengesankan. Diantara celah cahaya, Awan tersenyum. Ia menghela napas lalu
menatapku lekat.
“Bersediakah
kau menjadi kekasihku?”
DUAAARRR!
Kembang api
meledak di angkasa. Jantungku rasanya berhenti berdetak sedetik tadi. Entah
karena kalimat Awan atau ledakan kembang api yang mengejutkan. Awan masih menatapku lekat, aku hanya
mengerjap. Merapikan kegugupan dan keterkejutanku. Bagaimana mungkin ia
berharap aku mengajukan pertanyaan semacam itu? Aku menatap perempuan di
belakangku. Ia terlihat fokus menatap kembang api di angkasa, namun aku melihat
raut kesedihan disana. Ia pasti mendengarnya. Setiap kata yang diucapkan Awan.
Aku mengikuti
arah pandangnya. Ledakan peony menghias kelamnya langit, efek ledakan kembang
api yang paling umum, berupa lingkaran percikan api satu warna. Suara kembang
api meluncur ke angkasa, menyusul peony yang sebentar lagi akan menghilang.
Kembang api itu sampai di angkasa, meledak menjadi percikan api berbentuk pohon
palm. Lalu disusul ledakan-ledakan berikutnya, menghadirkan kekaguman yang
lebih besar yang aku pikir dapat membawaku melayang dari kegelisahan yang
menyelimutiku, namun ternyata kegelisahan itu masih bertandang.
“Awan,”
panggilku. Awan memindahkan tatapannya dari angkasa menujuku.
“Bisakah
kau menutup lembar terakhirmu tentang aku? Lalu membuka lembar baru dimana aku
tidak ada di dalamnya.”
Banyumas,
01 Januari 2016
Sabtu, 28 Maret 2015
Kartini dalam Ragamu
Semburat senyum tetap kau lukis
meski letih belum sedikitpun terkikis
Senandung nada masih kau dendangkan
meski badan remuk tak tertahankan
meski letih belum sedikitpun terkikis
Senandung nada masih kau dendangkan
meski badan remuk tak tertahankan
Sekuat tenaga kau terus bekerja
meski dirimu adalah seorang wanita
Segenap jiwa kau terus mencoba
agar kau setara dengan para pria
meski dirimu adalah seorang wanita
Segenap jiwa kau terus mencoba
agar kau setara dengan para pria
harumnya menjelma dalam namamu
Tak kusangka,Kartini hidup dalam ragamu
mulianya menyusup dalam jiwamu
Semarang,28 Maret 2015
Langganan:
Postingan (Atom)