Kamis, 28 Januari 2016

Pertanyaan Lembar Terakhir


Aku jemput setengah jam lagi ya, Za- Karen

          Setelah membalas pesan Karen, aku kembali mematut diri di depan cermin. Kurapikan lagi rambut yang tergerai sepunggung, kuoleskan lipstik merah muda tipis-tipis. Terdengar deru mobil yang berhenti di depan rumah. Kemudian disusul ucapan salam seorang perempuan. Pasti Karen.

          “Cantik banget, Za!” serunya heboh saat aku menghampirinya di teras.

“Apa kalimat itu bentuk lain dari ‘siapa dulu yang milihin baju?aku gitu loh’?” Ledekku. Karen— sahabat yang aku temui semenjak duduk di bangku SMA, sahabat yang suka banget ngerusuhin penampilanku— yang memadu padankan pakaian yang aku kenakan sekarang. Kemarin, ia rela mengorbankan tidur siangnya demi memilihkan baju untukku. Aku, hanya bisa pasrah. Ini tak terjadi kali ini saja. Hampir setiap hari ia yang ribet soal penampilanku. Tapi aku akui, pilihannya selalu mengesankan. Karen memang ahli soal fashion. Celana jeans putih tiga perempat, baju biru muda berbahan twistcone lengan panjang dengan scallop collar di bagian leher memang sangat pas untukku.

“Engga kok, beneran cantik. Suer deh! Pasti Awan bakal klepek klepek,” jawab Karen memandangku puas.

“Padahal enakan pakai jeans panjang sama kaos loh,” sungutku pura-pura. Setelah ini, pasti ia akan mengucapkan quotes andalannya.

“Wanita itu harus peduli pada penampilan.” Benar kan! Aku terkekeh mendengarnya.

“Udah ah ayo buruan! Nanti kemaleman loh,” ajakku lalu menariknya menuju mobil.

***
Disinilah aku dan Karen sekarang. Di halaman belakang sebuah rumah mewah yang telah disulap menjadi tempat pesta sederhana. Sederhana, namun begitu memukau. Meja-meja ditata dengan rapi, bunga dan lampu-lampu dipasang dengan apik di sudut-sudut halaman. Acara malam keakraban kelas yang digabung dengan acara pergantian tahun ini terselenggara atas ketersediaan Awan— Sang Ketua kelas— menjadi tuan rumah.

“Hai Faza, Karen!” Sapa seseorang menyentak aku dan Karen yang tengah memandang sekeliling.

“Hai Awan!” jawab kami serempak. Seperti biasa, Awan menebarkan senyumnya yang menawan. Kaos polo abu-abu dengan jeans hitam panjang nampak sangat cocok dengan kulitnya yang putih. Jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya membuatnya nampak lebih keren. Stylish, seperti Karen. Mereka memang serasi.

“Eh aku gabung sama yang lain dulu ya,” ucap Karen kemudian berlalu menghampiri Aisyah yang tengah duduk sambil berbincang dengan Vita.

“Karen!” sergahku. Kebiasaan, pergi seenaknya. Selalu saja jika ada Awan. Aku mengerti bahwa ia berusaha membuat semuanya menjadi lebih mudah, namun apakah harus dengan menghindar?

“Kamu cantik banget, Za,” puji Awan. Tak ketinggalan senyumnya yang merekah begitu mempesona. Senyum yang sanggup melumpuhkan  setiap perempuan yang menatapnya, bahkan walau sedetik saja.

“Te-terimakasih,” jawabku salah tingkah. Selalu seperti ini ketika berada di dekatnya. Entahlah, hanya berdiri bersisian saja, tiba-tiba gugup menyergapku, dan pujiannya sukses membuat perasaanku menghangat.

“Duduk disana, yuk?” ajaknya lalu menggandeng tanganku dan membawaku menuju kursi di belakang Karen. Karen nampak begitu menikmati obrolannya dengan Vita dan Aisyah, namun aku tahu perasaannya berada di belakang, pada sosok yang sekarang tengah duduk di sisiku.

Aku tidak mengerti bagaimana kami terjebak cinta segitiga seperti ini. Aku tidak mengerti bagaimana seorang perempuan mampu mengorbankan perasaannya atas nama persahabatan. Dan aku pun tidak mengerti mengapa hal ini menjadi begitu rumit.

Sejak aku tak sengaja membaca buku harian Karen dimana keseluruhan isinya adalah tentang Awan, aku selalu ingin kembali ke titik awal. Titik dimana aku memandang Awan sebagai teman sekelas dan  lelaki populer di sekolah. Hanya sebatas itu. Tidak sampai akhirnya ia mengirimkan pesan dan aku membalasnya. Tidak sampai ia mengajakku berbincang dan aku menanggapinya antusias. Pun harusnya tidak sampai perasaan yang tidak seharusnya itu bersemi. Namun, berandai saja tidak akan cukup untuk melepaskan kami dari kerumitan ini ‘kan? Kembali ke titik awal pun, tak akan menjamin bahwa segitiga ini akan kembali menjadi satu garis lurus, ‘kan?

“Tes ... satu dua tiga tes tes,” seru Gio dari sudut depan. Dengan mic di tangannya, sudah dipastikan acara akan segera dimulai. Seluruh anak, termasuk aku dan Awan memperhatikan Gio.

“Selamat malam kawan-kawan! Senang sekali rasanya dapat berkumpul dengan kalian,” Gio membuka acara dengan sumringah.

“Terimakasih pada Awan yang telah bersedia menjadi tuan rumah. Tanpamu, acara kita hanya wacana bro. Thanks ya.” Awan hanya tersenyum menanggapi ucapan Gio.

“Nah! Langsung kita mulai saja, ya! Sebelum tahunnya berganti, sebelum kembang api sebelah meledak, kita mulai dulu acara kita. Nanti, setiap orang akan mendapat kembang api. Lalu kalian sambung menyambung menyalurkan apinya, hingga kembang api semua orang menyala.” Jelas Gio panjang lebar. Kembang api mulai dibagikan.

“Sudah dapat semuanya?” tanya Gio dari depan sana.

“Sudaaaaaahhh,” jawab anak-anak bersamaan. Beberapa detik kemudian, lampu padam, menyisakan gelap. Bulan yang tak bersinar malam ini menambah pekatnya suasana.

Crrrsssshh!!!!

Tiba-tiba terdengar suara berisik yang disusul cahaya berpendar. Samar terlihat Gio dengan sebatang kembang api yang menyala di tangannya. Indah.

“Terimakasih untuk tahun 2015 yang mengesankan, kawan-kawan. Semoga tahun depan dan tahun-tahun setelahnya, kelas D tetap kompak, tetap mengesankan, dan semoga kita sehidup sesurga, ya. Salurkan apinya, salurkan semangatnya!” seru Gio semangat lalu mempertemukan ujung kembang apinya pada kembang api seseorang yang berada di depannya. Riuh tepuk tangan menyertai saluran api Gio. Alunan piano mulai mengiringi sambung menyambung api. Cahaya mulai berpendar di berbagai sudut, gemerisik percikan api mulai menambah pesona.

“Salurkan padaku, Karen!” sentak Awan pada Karen yang masih melamun dengan kembang api yang telah menyala di tangannya.

“eh i-iya nih,” Karen mengulurkan tangannya menuju Awan.

“Senyum dong, Ren! Kan kamu harus menyalurkan semangatmu ke aku,” ucap Awan membuat Karen gugup. Karen nampak menatap lekat Awan sebelum akhirnya ia menyunggingkan senyum. Andai Awan tahu apa yang sebenarnya Karen coba salurkan. Bukan hanya sekadar semangat, tapi juga cinta.

“Faza, kembang apimu sini!” Aku mengulurkan kembang apiku pada Awan. Ujung kembang api kami bertemu, apinya merambat perlahan, menimbulkan percikan api bercahaya dengan suara yang sedikit berisik.

“Berhubung ini tahun baru, kamu boleh tanya apa saja padaku, Za. Dan akan aku jawab jujur.” Awan menarik kembang apinya, lalu menyunggingkan senyum padaku. Manis.

“Eh?” Aku tidak tahu harus menanyakan apa. Untuk apa pula Awan memberikanku kesempatan semacam itu.

Apakah aku harus bertanya kapan ia mulai menyukaiku?

Atau, bagaimana perasaannya pada Karen?

Pertanyaan apa yang seharusnya aku ajukan?

Api telah merayap lebih jauh, kembang apiku mulai terkikis. “Eemm ... pertanyaanku ... “
“Kau ingin aku menanyakan apa padamu?” lanjutku.

Awan tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling halaman. Aku mengikutinya. Melihat cahaya-cahaya yang masih berpendar. Mengesankan. Diantara celah cahaya, Awan tersenyum. Ia menghela napas lalu menatapku lekat.

“Bersediakah kau menjadi kekasihku?”

DUAAARRR!

Kembang api meledak di angkasa. Jantungku rasanya berhenti berdetak sedetik tadi. Entah karena kalimat Awan atau ledakan kembang api yang mengejutkan.  Awan masih menatapku lekat, aku hanya mengerjap. Merapikan kegugupan dan keterkejutanku. Bagaimana mungkin ia berharap aku mengajukan pertanyaan semacam itu? Aku menatap perempuan di belakangku. Ia terlihat fokus menatap kembang api di angkasa, namun aku melihat raut kesedihan disana. Ia pasti mendengarnya. Setiap kata yang diucapkan Awan.

Aku mengikuti arah pandangnya. Ledakan peony menghias kelamnya langit, efek ledakan kembang api yang paling umum, berupa lingkaran percikan api satu warna. Suara kembang api meluncur ke angkasa, menyusul peony yang sebentar lagi akan menghilang. Kembang api itu sampai di angkasa, meledak menjadi percikan api berbentuk pohon palm. Lalu disusul ledakan-ledakan berikutnya, menghadirkan kekaguman yang lebih besar yang aku pikir dapat membawaku melayang dari kegelisahan yang menyelimutiku, namun ternyata kegelisahan itu masih bertandang.

“Awan,” panggilku. Awan memindahkan tatapannya dari angkasa menujuku.

“Bisakah kau menutup lembar terakhirmu tentang aku? Lalu membuka lembar baru dimana aku tidak ada di dalamnya.” 

Banyumas, 01 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar